Pendidikan Bahasa Arab di Indonesia
Sejauh ini belum ada hasil penelitian yang memastikan sejak kapan studi
bahasa Arab di Indonesia mulai dirintis dan dikembangkan. Asumsi yang
selama ini berkembang adalah bahwa bahasa Arab sudah mulai dikenal oleh
bangsa Indonesia sejak Islam dikenal dan dianut oleh mayoritas bangsa
kita. Jika Islam secara meluas telah dianut oleh masyarakat kita pada
abad ke-13, maka usia pendidikan bahasa Arab dipastikan sudah lebih dari
7 abad. Karena perjumpaan umat Islam Indonesia dengan bahasa Arab itu
paralel dengan perjumpaannya dengan Islam. Dengan demikian, bahasa Arab
di Indonesia jauh lebih “tua dan senior” dibandingkan dengan bahasa
asing lainnya, seperti: Belanda, Inggris, Portugal, Mandarin, dan
Jepang.
Pendidikan bahasa Arab di Indonesia sudah diajarkan mulai dari TK
(sebagian) hingga perguruan tinggi. Berbagai potret penyelenggaraan
pendidikan bahasa Arab di lembaga-lembaga pendidikan Islam setidaknya
menunjukkan adanya upaya serius untuk memajukan sistem dan mutunya.
Secara teoritis, paling tidak ada empat orientasi pendidikan bahasa Arab
sebagai berikut: Orientasi Religius, yaitu belajar bahasa Arab untuk
tujuan memahami dan memahamkan ajaran Islam (fahm al-maqrû’). Orientasi
ini dapat berupa belajar keterampilan pasif (mendengar dan membaca), dan
dapat pula mempelajari keterampilan aktif (berbicara dan menulis).
Orientasi Akademik, yaitu belajar bahasa Arab untuk tujuan memahami
ilmu-ilmu dan keterampilan berbahasa Arab (istimâ’, kalâm, qirâ’ah, dan
kitâbah). Orientasi ini cenderung menempatkan bahasa Arab sebagai
disiplin ilmu atau obyek studi yang harus dikuasai secara akademik.
Orientasi ini biasanya identik dengan studi bahasa Arab di Jurusan
Pendidikan bahasa Arab, Bahasa dan Sastra Arab, atau pada program
Pascasarjana dan lembaga ilmiah lainnya.
Orientasi Profesional/Praktis dan Pragmatis, yaitu belajar bahasa Arab
untuk kepentingan profesi, praktis atau pragmatis, seperti mampu
berkomunikasi lisan (muhâdatsah) dalam bahasa Arab untuk bisa menjadi
TKI, diplomat, turis, misi dagang, atau untuk melanjutkan studi di salah
satu negara Timur Tengah, dsb.
Orientasi Ideologis dan Ekonomis, yaitu belajar bahasa Arab untuk
memahami dan menggunaakan bahasa Arab sebagai media bagi kepentingan
orientalisme, kapitalisme, imperialisme, dsb. Orientasi ini, antara
lain, terlihat dari dibukanya beberapa lembaga kursus bahasa Arab di
negara-negara Barat.
Pendidikan Bahasa Arab (PBA) di Indonesia relatif sudah tersebar di
berbagai UIN, IAIN, STAIN, dan sebagian PTAI swasta seperti Universitas
Islam Jakarta. Hanya saja, disiplin keilmuan ini masih tergolong
“miskin” sumber daya manusia dan sumber-sumber studi (referensi).
Sementara ini, yang tergolong memiliki SDM PBA cukup kuat adalah PBA
FITK Jakarta (4 profesor, 4 doktor, dan 8 Magister). Menurut pengamatan
penulis, yang agak memperihatinkan, terutama bagi PBA di luar UIN
Jakarta yang masih miskin SDM, adalah bagaimana lembaga-lembaga itu
mampu meningkatkan kualitas SDM dan memperkaya referensi sebagai basis
pembelajaran, penelitian dan pengembangan ilmu-ilmu bahasa Arab. Dalam
hal ketersediaan sumber belajar (buku, jurnal, koran Arab, media dan
sebagainya), PBA UIN Jakarta reletif “tertolong” oleh keberadaan LIPIA
(Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) yang berafiliasi pada
Universitas al-Imâm Muhammad ibn Sa’ûd di Riyâdh. Lembaga ini tidak
hanya mensuplay berbagai sumber belajar yang relatif memadai, melainkan
juga membantu PBA memberikan native speaker dan koran-koran berbahasa
Arab untuk PBA. Kalau saja LIPIA tidak ada atau jauh dari PBA UIN
Jakarta, mungkin nasib PBA tidak jauh berbeda dengan PBA-PBA yang ada di
luar Jakarta. Kurikulum PBA pada UIN, IAIN, dan STAIN tampaknya
merupakan hasil “ijtihad institusional” masing-masing, bukan merupakan
“ijtihad struktural” (baca: Depag RI). Sejauh ini belum pernah ada
konsensus atau kesepakatan bersama mengenai pentingnya kerjasama atau
networking antar PBA untuk merumuskan epistemologi, arah kebijakan, dan
kurikulum PBA secara lebih luas dan komprehensif. Meskipun PBA FITK
menjadi semacam “lokomotif atau kiblat” bagi PBA-PBA lainnya –antara
lain karena berada di pusat dan menjadi sasaran studi banding bagi
PBA-PBA lainnya—namun tuntutan dan kebutuhan untuk memperbaharui
kurikulumnya sudah semakin mendesak, karena perkembangan ilmu-ilmu
bahasa Arab, sains, teknologi, dan sistem sosial budaya cukup pesat.
Dalam masyarakat dewasa ini mulai timbul keluhan atau kritik yang
dialamatkan kepada dunia pendidikan tinggi Islam, termasuk PBA, bahwa
lulusan PBA kurang memiliki kemandirian dan keterampilan berbahasa yang
memadai, sehingga daya saing mereka rendah dibandingkan dengan alumni
lembaga lain. Kelemahan daya saing ini perlu dibenahi dengan memberikan
aneka “keterampilan plus”, seperti: keterampilan berbahasa Arab dan
Inggris aktif (berbicara dan menulis), keterampilan mengoperasikan
berbagai aplikasi komputer, keterampilan meneliti, keterampilan
manajerial, dan keterampilan sosial.
Posisi Pengajaran Bahasa Arab
di Indonesia
1. Bahasa Arab Sebagai Bahasa Agama Verbal Sebagai simbol
ekspresi linguistik ajaran Islam, pengajaran bahasa Arab yang pertama
di Indonesia adalah untuk memenuhi kebutuhan seorang muslim dalam
menunaikan ibadah ritual, khususnya ibadah shalat. Sesuai dengan
kebutuhan tersebut, materi yang diajarkan hanya terbatas pada doa-doa
shalat dan surat-surat pendek al-Qur’an yang lazim dikenal dengan juz
‘amma. Metode yang lazim digunakan ialah metode abjadiyah (alphabetical
method) yang terkenal dengan nama metode baghdadiyah. Metode ini
menekankan pada kemampuan membaca huruf-huruf al-Qur’an (al-huruf
al-hija’iyah) yang dimulai dari: (a) penyebutan huruf dengan namanya
satu persatu dari alif samapai ya’ secara abjad sampai murid hafal
nama-nama huruf tersebut secara terpisah atau satu persatu, kemudian (b)
diajarkan kata-kata yang terdiri dari dua huruf , lalu tiga huruf, dan
begitu seterusnya yang diberikan secara bertahap, kemudian meningkat
pada (c) pengajaran harakat, dimulai dengan menyebutkan huruf yang
disertai dengan nama harakatnya.
1. Bahasa Arab Sebagai Media/alat untuk
Memahami Agama Seiring dengan berkembangnya waktu, metode dan pola
pengajaran yang pertama di atas mulai mengalami pergeseran dan
perkembangan ke arah yang lebih bermakna. Pengajaran bahasa Arab
verbalistik sebagai mana di atas tidak cukup, karena al-Qur’an tidak
hanya untuk dibaca sebagai sarana ibadah, melainkan juga sebagai pedoman
hidup yang harus dipahami maknanya dan diamalkan ajaran-ajarannya. Oleh
karena itu, muncullah pengajaran bahasa Arab dalam bentuk kedua dengan
tujuan mendalami ajaran agama Islam. Pengajaran bahasa Arab bentuk kedua
ini tumbuh dan berkembang di berbagai pondok pesantren salaf. Materi
yang diajarkan mencakup fikih, aqidah, akhlaq, hadits, tafsir, dan
ilmu-ilmu bahasa rab seperti nahwu, sharaf, dan balaghah dengan buku
teks berbahasa Arab yang ditulis oleh para ulama dari berbagai abad di
masa lalu. Metode yang digunakan adalah metode gramatika-tarjamah
(thariqah al-qawa’id wa al-tarjamah/grammar-translation method) dengan
teknik penyajian yang masih relatif tradisional, di mana guru (Kiai) dan
para murid (santri) masing-masing memegang buku (kitab). Guru membaca
dan mengartikan kata demi kata atau kalimat demi kalimat ke dalam bahasa
daerah khas pesantren yang telah didekatkan kepada sensivitas bahasa
Arab. Sedangkan tata bahasa (qawa’id) bahasa Arab diselipkan ke dalam
kata-kata tertentu sebagai simbol yang menunjukkan fungsi suatu kata
dalam kalimat. Santri hanya mencatat arti setiap kata atau kalimat Arab
yang diucapkan artinya oleh guru, tanpa adanya interaksi verbal yang
aktif dan produktif antara kiai dan santrinya. 2. Bahasa Arab Sebagai
Media Komunikasi Meski pola pengajaran bahasa Arab dalam bentuk kedua di
atas sangat dominan berlaku di berbagai pondok pesantren salaf hingga
kini, dan diakui kontribusinya dalam memberikan pemahaman umat Islam
Indonesia terhadap ajaran agamanya, namun tuntutan dunia komunikasi pada
gilirannya menggiring perubahan baru pola pengajaran bahasa Arab.
Interaksi antar bangsa menuntut umat Islam untuk tidak sekedar memiliki
kemampuan berbahasa Arab reseptif (pasif), tetapi kemampuan berbahasa
yang lebih aktif dan produktif. Semangat pembaruan ini diperkuat dengan
munculnya para cendikiawan dan intelektual muda muslim dengan nuansa
pemikiran yang segar, sekembali mereka dari menuntut ilmu di negeri
pusat-pusat pendidikan di Timur Tengah, terutama Mesir. Pada masa inilah
metode langsung (direct method / al-thariqah al-mubasyirah) mulai
diterapkan dalam pengajaran bahasa Arab di Indonesia. Pengajaran bahasa
Arab bentuk ketiga ini terdapat di berbagai pondok pesantren atau
lembaga pendidikan Islam modern sejak awal abad ke-19. Dimulai di Padang
Panjang oleh ustadz Abdullah Ahmad, Madrasah Adabiyah (1909), dua
bersaudara Zaenuddin Labay al-Yunusi dan Rahmah Labay el-Yunusiyah,
Diniyah Putra (1915) dan Diniyah Putri (1923), dan ustadz Mahmud Yunus,
Normal School (1931). Kemudian ditumbuh-kembangkan oleh K.H. Imam
Zarkasyi di Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyah Gontor Ponorogo. Dalam
sistem pengajaran bentuk ketiga ini, pelajaran agama pada tahun pertama
diberikan sebagai dasar saja dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Sementara itu, sebagaian besar perhatian siswa dicurahkan kepada
pelajaran bahasa Arab dengan metode langsung. Pada tahun kedua, ilmu
tata bahasa Arab (nahwu-sharaf) mulai diberikan dalam bahasa Arab dengan
metode induktif (al-thariqah al-istiqra’iyah), ditambah dengan latihan
intensif qira’ah (reading), insya’ (writing), dan muhadatsah
(speaking/conversation). Pelajaran agama juga disajikan dalam bahasa
Arab. Dalam masa belajar enam tahun (pasca sekolah dasar), seorang
lulusan perguruan Islam modern ini (setara dengan lulusan SLTA/SMA)
telah mampu berkomunikasi dengan bahasa Arab secara lisan dan tulis,
serta mampu membaca buku berbahasa Arab dalam berbagai subyek
pengetahuan. Dalam perkembangannya, pengajaran bahasa Arab di perguruan
Islam modern ini tidak hanya menggunakan metode langsung tapi mengikuti
pembaruan-pembaruan yang terjadi di dunia pengajaran bahasa, misalnya
metode aural-oral (al-thariqah al-sam’iyah al-syafawiyah) dan pendekatan
komunikatif (al-thariqah al-itthishaliyah).
Bentuk Integrasi Selanjutnya, dari obsesi para pemerhati pengajaran
bahasa Arab yang ingin mengintegrasikan antara bentuk pengajaran bahasa
Arab yang kedua dan ketiga, maka muncullah bentuk pengajaran bahasa Arab
keempat yaitu bentuk integrasi. Pada fase ini tujuan pengajaran bahasa
Arab memiliki dua arah, yaitu pengajaran bahasa Arab untuk penguasaan
kemahiran berbahasa dan pengajaran bahasa Arab untuk penguasaan
pengetahuan lain dengan menggunakan wahana bahasa Arab.
Selain itu,
jenis bahasa yang dipelajari mencakup dua bahasa, yaitu bahasa Arab
klasik dan modern. Penggabungan ini di satu sisi memiliki kelebihan
karena dapat memberdayakan kompetensi peserta didik secara komprehensif,
namun di sisi lain melahirkan ketidakmenentuan, karena keterbatasan
sel-sel otak peserta didik untuk mengakomodasi keduanya secara
bersamaan. Ketidakmenetuan ini bisa dilihat dari berbagai segi. Pertama
dari segi tujuan, terdapat kerancuan antara mempelajari bahasa Arab
untuk menguasai kemahiran berbahasa atau sebagai alat untuk menguasai
pengetahuan lain yang menggunakan wahana bahasa Arab. Kedua dari segi
jenis bahasa yang dipelajari, terdapat ketidakmenentuan apakah bahasa
Arab klasik, bahasa Arab modern, atau bahasa Arab sehari-hari. Ketiga
dari segi metode, terdapat kegamangan antara mempertahankan metode yang
lama atau menggunakan metode yang baru. Meskipun demikian, pengajaran
bahasa Arab bentuk keempat ini telah banyak dipergunakan hingga kini di
berbagai lembaga pendidikan formal (madrasah dan sekolah umum) di
Indonesia. Kebijakan ini diambil karena bentuk integrasi ini dipandang
lebih aspiratif dengan perkembangan abad globalisasi, dengan terus
mengupayakan berbagai cara untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang
terdapat di dalamnya. Begitu pula dengan kegamangan yang ada, setidaknya
dapat memacu para pemerhati pengajaran bahasa Arab untuk menghadirkan
tawaran positif bagi pengembangan metodologi pengajaran bahasa Arab.
Akhirnya, bentuk-bentuk pengajaran bahasa Arab yang telah diuraikan di
atas masih tetap eksis dan dipergunakan hingga saat ini, tentu dengan
modifikasi, inovasi dan perkembangan masing-masing. Jika pengajaran
bahasa Arab bentuk pertama dahulu berada di surau dan masjid, kini
berkembang menjadi TPQ/TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) yang menjamur
bukan hanya di pedesaan tapi juga marak di perkotaan. Metode yang
digunakan semakin berkembang menjadi lebih praktis dan bervariasi, tidak
hanya metode eja/abjad, tapi juga menggunakan metode iqra’, al-barqi,
hattawiyah, al-nur dan sejenisnya. Perkembangan ini sejalan dengan
meningkatnya kesadaran beragama masyarakat dan kesdaran akan perlunya
menanamkan nilai-nilai keagamaan kepada anak-anak sejak usia dini.
Sementara itu, pengajaran bahasa Arab bentuk kedua masih tetap
dipertahankan di pondok-pondok pesantren salaf. Sedangkan pengajaran
bahasa Arab bentuk ketiga yang menekankan bahasa Arab sebagai alat
komunikasi banyak dipergunakan di pondok pesantren modern, dan berbagai
lembaga pendidikan Islam modern. Adapun pengajaran bahasa Arab bentuk
keempat juga masih tetap dipergunakan hingga kini di lemabaga pendidikan
formal (madrasah dan sekolah umum) dan terus diupayakan
penyempurnaannya, baik dari segi kurikulum, orientasi pengajarannya,
materi yang diajarkan, metode dan strategi pengajarannya, serta media
yang digunakan.
Pendidikan Bahasa Arab di Barat Bahasa Arab dikenal sebagai bahasa yang sulit.
“Bahasa Arab memberikan sejumlah tantangan bagi mereka yang menggunakan
bahasa Inggris,” kata Dr. Omran. Tantangan itu misalnya dari cara
membacanya dari kanan ke kiri, bunyi hurufnya yang masih terasa asing
bagi pemakai bahasa Inggris dan tata bahasanya yang agak pelik. Dr Omran
sudah lebih dari 20 tahun mengajar bahasa Arab bagi mahasiswa Amerika.
Ia mengatakan, dengan sedikit kerja keras dan komitmen, setiap orang
bisa cepat menguasai bahasa Arab dan lancar bicara dengan menggunakan
bahasa itu. Namun menurut Dr. Michael Cooperson yang sudah mengajar
bahasa Arab di sejumlah universitas bergengsi di AS seperti Harvard dan
UCLA, tingkat kesulitan belajar bahasa Arab tergantung pada bahasa yang
sering dipakai oleh mahasiswa bersangkutan. “Jika bahasa yang selalu
digunakan berdialek sama dengan bahasa Arab, ini menguntungkan. Termasuk
jika sebelumnya ada sudah biasa bicara dengan bahasa Hebrew atau bahasa
Semit lainnya,” kata Dr Cooperso.